Serang Pelabuhan Laut Hitam Odesa, Rusia Berupaya Hentikan Pengiriman Senjata untuk Ukraina
Pasukan Rusia pada Selasa (10/5/2022) waktu setempat melancarkan serangan rudal ke arah pelabuhan Laut Hitam Odesa. Pejabat Ukraina menyebut serangan Rusia itu dimaksudkan untuk mengganggu pengiriman senjata penting dan jalur pasokan ke Ukraina. Militer Ukraina mengatakan Rusia menembakkan tujuh rudal ke sejumlah sasaran di Odesa.
Serangan menggunakan senjata berat itu menghantam pusat perbelanjaan dan satu gudang, menewaskan sedikitnya satu orang dan melukai lima lainnya. Saat berkunjung ke gudang itu, Wali Kota Gennady Trukhanov Ukraina mengatakan gudang tersebut "sama sekali tidak menyerupai infrastruktur militer atau objek militer." Ukraina mengatakan beberapa amunisi yang ditembakkan ke Odesa berasal dari era Soviet sehingga tidak bisa diandalkan dalam penargetan.
Tetapi lembaga kajian Ukraina yang melacak perang itu, Center for Defense Strategies, mengatakan Moskow menggunakan beberapa senjata tepat sasaran terhadap Odesa, Kinzhal, atau "Belati," rudal hipersonik yang diluncurkan ke udara dan menarget permukaan. Namun, Juru Bicara Pentagon John Kirby kepada wartawan mengatakan ia tidak melihat “bukti untuk dibahas terkait rudal hipersonik yang ditembakkan ke Odesa.” Kirby menambahkan "tidak ada dampak terhadap aliran dan pengiriman material ke Ukraina, baik akibat serangan di Odesa ataupun serangan di tempat lain."
Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, pada Selasa (10/5), memperdebatkan rancangan undang undang yang mengizinkan bantuan baru senilai hampir $40 miliar untuk peralatan militer dan kemanusiaan bagi Ukraina. Nilai tersebut $7 miliar lebih banyak dari yang diminta Presiden Joe Biden pada minggu lalu. Biden mengatakan pemerintahannya "hampir mengeluarkan" semua kewenangannya untuk mengirim senjata dan peralatan militer lainnya dari persediaan Pentagon. Tak hanya menginvasi Ukraina,Presiden Rusia Vladimir Putin disebut akan menyerang wilayah lain hingga ke Moldova.
Itulah sebabnya Putin memerintahkan serangan besar besaran di kawasan Donbass dalam invasi Rusia ke Ukraina. Klaim tersebut disampaikan oleh pejabat intelijen Amerika Serikat (AS) Avril Haines, Selasa (10/5/2022). Direktur intelijen nasional di kabinet pemerintahan Joe Biden itu menyebut pemfokusan kekuatan Rusia di timur Ukraina saat ini hanyalah “sementara”.
Menurut Haines, Putin siap dengan konflik berkepanjangan di Ukraina. Rusia disebut ingin memblokade Ukraina dari lautan dan menyambung wilayah pendudukan hingga Transnistria di Moldova. Transnistria merupakan negara yang dideklarasikan kelompok separatis pro Rusia pada 1990 silam.
Baca juga: Barat Tudig Rusia Terlibat dalam Serangan Siber yang Sasar Jaringan Internet Ukraina Saat ini, lebih dari 1.000 pasukan perdamaian asal Rusia berjaga di Transnistria. “Menurut penilaian kami, Presiden Putin tengah menyiapkan konflik berkepanjangan di Ukraina, dia masih ingin mencapai tujuan melampaui Donbass,” kata Haines dalam rapat bersama Komite Angkatan Bersenjata Senat AS sebagaimana dikutip AFP via France24.
“Kami melihat indikasi bahwa militer Rusia ingin memperluas jembatan darat ke Transnistria,” lanjutnya. Meskipun demikian, intelijen AS menilai Rusia belum punya cukup kekuatan untuk menyerbu dan menduduki timur dan selatan Ukraina sekaligus. Meski demikian, Haines menyebut Putin berkemungkinan akan mendeklarasikan perang secara resmi dan mengumumkan mobilisasi massal di kemudian hari.
“Tren saat ini meningkatkan kemungkinan bahwa Presiden Putin akan beralih ke cara cara yang lebih drastis, termasuk menetapkan darurat militer, reorientasi produksi industri, atau eskalasi opsi militeristis lain untuk merengkuh sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuannya,” kata Haines. Isu bahwa Rusia menargetkan wilayah selatan Ukraina hingga Transnistria telah berembus sejak bulan lalu. Pada April 2022, terdapat sejumlah serangan bom di Transnistria yang diklaim Ukraina sebagai operasi bendera palsu oleh Rusia.
Sumber: Reuters/VOA/AFP